Pengembaraan Cebolang dalam mencari jati diri dikupas habis pada pertunjukan wayang suket dengan dalang Ki Slamet Gundono.Sebuah fragmen dari Serat Centhini,mahakarya sastra Jawa.
Suara pentatonis gamelan mengalun penuh gairah. Suara sinden dalam tembang khas pesisiran melengking seirama gamelan yang ditabuh wiyogo. Ki Slamet Gundono,dalang wayang suket pun mulai membuka suluk pewayangan dengan gunungan yang dia putar-putar sebagai pertanda lakon Minggatnya Cebolangdibuka. Minggatnya Cebolang merupakan lakon yang diambil dari sebagian fragmen kisah dalam karya sastra Jawa yang fenomenal, Serat Centhini.Sebuah kisah yang penuh dengan pesan.Sebuah kisah untuk semua ramaja yang tersesat dalam keramaian batil dan bathin. Ki Slamet mementaskan ulang pertunjukan ini diArt Summit,Gedung Kesenian Jakarta,6–7 Oktober lalu.
Kisah Minggatnya Cebolang dalam wayang suket Ki Slamet Gundono memang tidak murni seperti apa yang ada dalam kisah Minggatnya Cebolang yang ditulis oleh sastrawan asal Prancis,Elizabeth D Inandiak. Ki Slamet Gundono melakukan banyak improvisasi dan gagasan-gagasan baru dalam lakon ini,dengan menambahkan beberapa bagian yang kekinian. Kisah yang digarap selama lebih dari empat tahun bersama dengan Elizabeth D Inandiak ini mengalami banyak pergeseran. Jalan cerita dibuat bertumpuk dan tidak berurutan.“Karena jika berurutan akan banyak memakan waktu. Kisah ini sangat panjang.
Makanya, dalam prosesnya mengalami banyak perubahan,” tegas Slamet Gundono usai pentas. Dikisahkan, awal mula Cebolang minggat karena dia diusir oleh orang tuanya. Cebolang minggat ditemani oleh empat teman-temannya Nurwitri, Saloka, Kartipala, dan Palakarti. Cebolang adalah anak dari Kiai Akhadiat, pemilik sebuah pesantren di zamannya. Cebolang, di tangan Ki Slamet Gundono,digambarkan sebagai seorang anak kiai yang kerap melakukan kesalahan-kesalahandalamhidupnya. Diatidakpernah mengaji,jika sedang beribadah selalu berada di barisan paling belakang untuk menggoda gadis-gadis dan janda yang tengah sembahyang.
Karena perilakunya yang menyimpang, akhirnya Kiai Akhadiat mengusir Cebolang dari pesantren. Cebolang pun nurut dan pergi meninggalkan orang tuanya.Cebolang mengembara meninggalkan pesantren. Pergi mencari jati diri.Mencari ilmu lewat pengalaman hidup yang dia hadapi. Mengelana mempelajari seni hidup dan kenikmatan atas takdir yang baik.“Cebolang...Cebolang! Ke mana engkau pergi Cebolang!” ratap Kiai Akhadiat. Suaranya keras, beradu dengan suara takbir yang menggema. Wayang suket Minggatnya Cebolang digarap dengan durasi hampir 1,5 jam.
Pengembaraan Cebolang ini menegaskan bahwa di balik jatuh bangun manusia dalam lumpur kehinaan,akhirnya akan menemukan air suci kesejatian. Menariknya,tak hanya wayangwayang suket yang dimainkan Slamet Gundono sebagai daya tarik. Lebih menarik lagi,Slamet Gundono juga berubah menjadi sosok wayang itu sendiri. (sofian dwi)(sumber: SINDO)
Suara pentatonis gamelan mengalun penuh gairah. Suara sinden dalam tembang khas pesisiran melengking seirama gamelan yang ditabuh wiyogo. Ki Slamet Gundono,dalang wayang suket pun mulai membuka suluk pewayangan dengan gunungan yang dia putar-putar sebagai pertanda lakon Minggatnya Cebolangdibuka. Minggatnya Cebolang merupakan lakon yang diambil dari sebagian fragmen kisah dalam karya sastra Jawa yang fenomenal, Serat Centhini.Sebuah kisah yang penuh dengan pesan.Sebuah kisah untuk semua ramaja yang tersesat dalam keramaian batil dan bathin. Ki Slamet mementaskan ulang pertunjukan ini diArt Summit,Gedung Kesenian Jakarta,6–7 Oktober lalu.
Kisah Minggatnya Cebolang dalam wayang suket Ki Slamet Gundono memang tidak murni seperti apa yang ada dalam kisah Minggatnya Cebolang yang ditulis oleh sastrawan asal Prancis,Elizabeth D Inandiak. Ki Slamet Gundono melakukan banyak improvisasi dan gagasan-gagasan baru dalam lakon ini,dengan menambahkan beberapa bagian yang kekinian. Kisah yang digarap selama lebih dari empat tahun bersama dengan Elizabeth D Inandiak ini mengalami banyak pergeseran. Jalan cerita dibuat bertumpuk dan tidak berurutan.“Karena jika berurutan akan banyak memakan waktu. Kisah ini sangat panjang.
Makanya, dalam prosesnya mengalami banyak perubahan,” tegas Slamet Gundono usai pentas. Dikisahkan, awal mula Cebolang minggat karena dia diusir oleh orang tuanya. Cebolang minggat ditemani oleh empat teman-temannya Nurwitri, Saloka, Kartipala, dan Palakarti. Cebolang adalah anak dari Kiai Akhadiat, pemilik sebuah pesantren di zamannya. Cebolang, di tangan Ki Slamet Gundono,digambarkan sebagai seorang anak kiai yang kerap melakukan kesalahan-kesalahandalamhidupnya. Diatidakpernah mengaji,jika sedang beribadah selalu berada di barisan paling belakang untuk menggoda gadis-gadis dan janda yang tengah sembahyang.
Karena perilakunya yang menyimpang, akhirnya Kiai Akhadiat mengusir Cebolang dari pesantren. Cebolang pun nurut dan pergi meninggalkan orang tuanya.Cebolang mengembara meninggalkan pesantren. Pergi mencari jati diri.Mencari ilmu lewat pengalaman hidup yang dia hadapi. Mengelana mempelajari seni hidup dan kenikmatan atas takdir yang baik.“Cebolang...Cebolang! Ke mana engkau pergi Cebolang!” ratap Kiai Akhadiat. Suaranya keras, beradu dengan suara takbir yang menggema. Wayang suket Minggatnya Cebolang digarap dengan durasi hampir 1,5 jam.
Pengembaraan Cebolang ini menegaskan bahwa di balik jatuh bangun manusia dalam lumpur kehinaan,akhirnya akan menemukan air suci kesejatian. Menariknya,tak hanya wayangwayang suket yang dimainkan Slamet Gundono sebagai daya tarik. Lebih menarik lagi,Slamet Gundono juga berubah menjadi sosok wayang itu sendiri. (sofian dwi)(sumber: SINDO)
Komentar
Posting Komentar